Pandemi, Pahlawan, dan (Ilusi) Media Sosial
ALADDIN138. Apakah yang umum dilaksanakan beberapa orang saat pada keadaan genting? Menelepon service 110 kepolisian? Menelepon service 118/119 ambulans? Atau menghubungi service 113 petugas kebakaran?
Mungkin beberapa orang terlampau grogi dan cemas untuk panggil service itu. Bisa saja tidak sebelumnya sempat. Beberapa orang akan repot cari bantuan pertama hadapi kecemasan. Rekan, keluarga, atau tetangga sekitaran yang kita panggil.
Tetapi, bantuan pertama itu mungkin tidak ada. Sepanjang peraturan PPKM Genting dan banyak kebijakan lalu (atau mendatang) berkaitan wabah, sedikit yang dapat kita kerjakan. Kita sudah terkurung dan terjerat pada sebuah ruang dan dikacaukan fantasi yang serupa. Kita rasakan bagaimana kesusahan cari sepeser rupiah. Sebagian dari kita bahkan juga cuma dapat mainkan sendok dan piring kosong yang sama-sama saut.
Pemikiran kita terus dibayang-bayangi oleh tawa anak dan keluarga di dalam rumah. Tidak tega rasanya memikirkan tawa mereka beralih menjadi derai air mata. Dapatkah keperluan keesokan hari terpenuhi? Itu sebuah pertanyaan memilukan.
Kita betul-betul dibikin chaos oleh wabah. Kita sama jalan dalam labirin keputusasaan. Belum genap satu minggu, satu, dua, tiga, sampai 4 orang diberitakan wafat. Ucapnya, terserang Covid-19. Kita bertanya, siapa kiranya pahlawan yang menjadi penyelamat di tengah-tengah kekalutan semacam ini?
Bila kita sebelumnya pernah dengar narasi Don Quixote de La Mancha, kita kemungkinan akan beramai-ramai menyebutkan Alonzo Quinjano sebagai pahlawan. Bersama kuda piaraannya yang dinamakan Rocinante, dan seorang rekan namanya Sancho Panza, mereka mengelana dari dusun ke dusun membasmi kejahatan. Alonzo dikenali luar biasa dalam membasmi kejahatan. Tidak ada satu juga lawan yang bisa lolos dari genggamannya. Alonzo betul-betul jadi pahlawan, bahkan bisa saja pada keadaan genting sekalinya.
Kedahsyatan Alonzo membasmi kejahatan dibungkus bagus oleh Miguel de Cervantes pada sebuah kreasi besar dengan judul Don Quixote de La Mancha (1605). Buku yang disebut sebagai kreasi fiksi terbaik selama hidup itu menceritakan mengenai liku-liku hidup Alonzo Quinjano jadi pahlawan. Alonzo menolong gadis-gadis yang tersika, menantang beberapa raksasa sampai menantang ketidakadilan.
Tetapi, apa yang terjadi bila Miguel de Cervantes malah justru mengganyang narasi Alonzo hanya buatan narasi dalam kepala? Akankah kita masih tetap jadikan Alonzo sebagai penyelamat kita? Kemungkinan tidak. Kita ketahui Miguel de Cervantes sudah membuat malu Alonzo dengan membuat terobsesi oleh romansa kesatria tahun 1500-an.
Alonzo yang sudah membaca banyak cerita dongeng mengenai kesatria, kehabisan akal sehat dan menderita fantasi. Kewarasan Alonzo alias Don Quixote terusik karena kebanyakan membaca. Dia tidak sanggup mengontrol pemikiran untuk membandingkan di antara realitas dan fantasi. Dia betul-betul pintar menghayal dan yakin jika dianya ialah figur pahlawan dalam narasi. Alonzo sudah menipu kita.
Tetapi nantikan. Fantasi cerita epik Alonzo betul-betul membius kita. Sebagian dari kita kemungkinan sudah seperti Alonzo. Mereka berlomba-lomba jadi pahlawan dan tawarkan jalan keluar atas kritis yang kita alami. Dalam suatu ruangan virtual, beberapa orang bicara taktik. Mereka sudah siap jadi garda paling depan menantang kritis ini.
Di satu segi, kita sudah jalan lumayan jauh melalui waktu. Tetapi sampai sekarang ini, kita tidak dipertunjukkan beberapa orang itu ada di garda depan. Mereka seperti pahlawan kesiangan. Mereka berdiri gagah menggenggam tombak di medan perang. Tetapi tidak dapat banyak berbuat. Kita dibikin kesal. Kita sedih. Bahkan juga, kita kemungkinan tidak akan kembali yakin dari mereka.
Pada akhirannya kita diterpa keputusasaan. Pahlawan yang kita tunggu, tidak dapat banyak berbuat. Kita putuskan tinggalkan pahlawan itu. Lantas, kembali diam di ruangan sosial media. Di situ, kita dapat hidup bebas. Tanpa takut terserang virus. Tanpa takut anak kelaparan, dan tanpa dilanda kematian.
Sosial media ialah surga dunia untuk beberapa orang yang patah semangat. Kita tidak harus berusaha keras cari suatu hal yang susah kita dapat di dunia realitas. Sosial media tawarkan seribu satu kebahagiaan. Kita dapat secara mudah menelusuri beberapa sudut dunia. Berjumpa beberapa orang baru dan kenalan beberapa orang tanpa kebimbangan. Untuk tiap kejadian dan kondisi, kita dapat membagi dan ketahuinya di sini. Kita betul-betul sama-sama tersambung. Tanpa penyekat dan diskriminasi. Kita betul-betul rayakan keputusasaan.